Sejarah St Ignatius Loyola Dan Paroki Jalan Malang

Logo Paroki diambil dari wajah pelindung paroki, yaitu St. Ignatius Loyola. Santo Ignatius Loyola adalah pendiri ordo Serikat Yesus. Ia lahir di daerah Basque, Guipuzcoa, Spanyol Utara pada tahun 1491. Nama kecilnya adalah Íñigo Lopez de Loyola. Ia adalah putra bungsu keluarga bangsawan. Putra yang lahir dari Don Beltran de Onazy Loyola dan Maria Sanchez de Licona ini sejak kecil hidup mewah dalam lingkungan istana. Seperti anak-anak pada zamannya, Íñigo sering membayangkan diri sebagai kesatria yang berbudaya, saleh, dikagumi kaum hawa, dan ahli dalam perang. Berkat koneksi keluarga, Íñigo bisa membantu di kastil Kerajaan. Ia pun belajar berkuda, bertarung, berjudi, dansa, dan tampil mempesona. Pada tahun 1517, Íñigo menjadi tentara Kerajaan Spanyol. Empat tahun kemudian, Íñigo ikut mempertahankan benteng Pamplona dari serangan tentara Perancis. Sayangnya, tentara Perancis berhasil merebut benteng dan Ignatius pun terluka karena terkena peluru meriam. Karena lukanya itu, Íñigo menjalani pemulihan di puri Loyola.
Pengalaman terluka ini ternyata menjadi jalan Tuhan untuk membuat Íñigo mengalami pertobatan hidup. Pertobatan itu dimulai dari keinginannya untuk mengusir rasa bosan perawatan dengan membaca buku-buku yang ada. Ia ingin membaca buku-buku kepahlawanan, tetapi yang ada hanyalah buku tentang Kehidupan Kristus dan Para Orang Kudus. Ketika membaca buku-buku itu, Íñigo merasakan kedamaian dan panggilan Tuhan untuk mengabdi-Nya. Ketika membayangkan menjadi kesatria yang gagah berani dan memenangkan hati seorang putri, meskipun awalnya menyenangkan, Íñigo merasakan hati yang kering dan hampa. Namun, ketika ia membayangkan menjadi pelayan Tuhan dan sesama, ia menemukan kegembiraan mendalam. Ia pun berniat untuk melampaui pahlawan- pahlawan suci lainnya.
Íñigo ingin menguji keinginan-keinginan sucinya itu dengan berziarah ke Yerusalem. Ia meninggalkan kenyamanan puri Loyola dengan menjadi pengembara. Ia mengemis, berkhotbah, memelihara orang sakit dan orang miskin. Pada tahun 1522, Íñigo pergi ke biara Benediktin Montserrat untuk berdoa di sana. Ia berdoa untuk memohon ampun atas semua dosa masa lalunya. Sebagai simbol pertobatan, ia meletakkan pedangnya di bawah kaki altar kapel biara itu pada tanggal 24 Maret 1522. Semua miliknya pun diberikan kepada orang- orang miskin. Ia hanya mengenakan pakaian peziarah. Dengan pakaian itu, ia melanjutkan perjalanan dari Montserrat ke Manresa.
Di Manresa, Íñigo menghabiskan waktunya untuk berdoa dan melayani di rumah sakit. Dalam refleksinya di kemudian hari, Íñigo menyadari bahwa di Manresa ini Tuhan berkarya di dalam dirinya seperti seorang guru kepada muridnya. Tuhan mengajarinya cara berdoa dan hidup suci. Íñigo dituntun untuk mencermati gerak-gerak batinnya, seperti rasa tertarik, perasaan, pikiran, dan keinginan-keinginan yang menuntunnya untuk dekat dengan Yesus dan hal-hal yang mengganggu perkembangan rohaninya. Di tepi Sungai Cardoner, Íñigo memperoleh rahmat yang memampukannya untuk menemukan Tuhan dalam segala hal.
Íñigo mulai mencatat inspirasi-inspirasi rohani yang ia temukan dari pengalamannya itu. Ia pun gemar bercakap-cakap dengan orang-orang tentang hidup rohani dan mencatat buah- buah dari percakapan tersebut. Catatan-catatan inilah yang kemudian menjadi buku Latihan Rohani St. Ignatius Loyola.
Namun, tidaklah lazim seorang awam yang tidak berpendidikan seperti Íñigo mengajar agama dan spiritualitas. Maka pada tahun 1524, Íñigo yakin bahwa tugas pelayanan bagi Tuhan dan sesama membutuhkan pendidikan yang memadai. Íñigo pun menempuh pendidikan selama 10 tahun untuk memperkaya dirinya dengan berbagai ilmu. Pendidikan yang ia tempuh itu merupakan persiapan untuk menjadi imam. Ia belajar di Alcala de Henares (1526-1527), Salamanca (1527-1528), dan Paris (1528-1535). Di Alcala dan Salamanca, Íñigo belajar bahasa Latin, bahasa universal Gereja. Di Paris Íñigo belajar filsafat dan teologi. Di Paris inilah, Íñigo dikenal sebagai Ignatius, nama Latin dari namanya. Di Paris ini pula Ignatius memperolah sahabat-sahabat yang nantinya akan menjadi para Jesuit pertama. Para sahabat itu adalah Petrus Faber, Fransiskus Xaverius, Diego Laynez, Simon Rodriquez, Alonso Salmeron, dan Nikolas Bobadilla. Mereka mengucapkan kaul kemurnian, ketaatan, dan kemiskinan di kapel Biara Benediktin di Montmartre. Mereka berjanji akan menjadi pewarta Injil di Tanah Suci setelah ditahbiskan. Tetapi jika misi ke Tanah Suci tidak memungkinkan, mereka akan mengabdikan diri pada Bapa Suci. Ignasius dan para sahabatnya yang belum imam ditahbiskan imam pada tanggal 24 Juni 1537.
Ternyata misi ke Tanah Suci mengalami kendala, yaitu situasi peperangan sehingga mereka mengalihkan misi mereka ke Roma. Di La Storta, Ignatius memperoleh penglihatan, yaitu Allah Bapa bersama dengan Yesus yang memanggul salib. Ignatius pun merasakan panggilan kuat dan jelas untuk bersama Yesus memanggul salib. Penglihatan itu makin meneguhkan Ignatius dan para sahabatnya untuk mengabdikan diri pada Bapa Suci. Mereka menawarkan diri kepada Paus Paulus III untuk mengerjakan tugas dari Bapa Suci, apa saja dan kapan saja. Pada tanggal 27 September 1540, Paus Paulus III merestui keberadaan kelompok Ignatius yang disebut dengan nama Serikat Yesus. Ignatius pun menjadi pemimpin pertama ordo Serikat Yesus. Nama Serikat Yesus ini terinspirasi dari pengalaman visiun di La Storta. Mereka berani menggunakan nama Yesus karena bagi mereka arah dan tujuan hidup ini adalah untuk mengenal, mencintai, dan melayani Yesus Kristus. Mereka ingin menjadi sahabat-sahabat Yesus yang memanggul salib-Nya.
Kemudian anggota ordo Serikat Yesus ini dikenal dengan nama Jesuit. Para Jesuit berkaul untuk siap pergi ke mana pun Gereja membutuhkan dan ke mana pun mereka bisa menyelamatkan jiwa-jiwa. Sejak didirikan secara resmi tahun 1540, Paus mulai mengirim Imam Jesuit untuk misi-misi penting di seluruh dunia. Misalnya, Fransiskus Xaverius dikirim ke India. Petrus Faber dikirim ke Konsili Trente. Para Jesuit pun membuka sekolah-sekolah di Eropa dan seberang lautan untuk memenuhi kebutuhan Gereja, yaitu umat dan klerus yang terdidik dengan baik. Mereka melakukan semua misi itu demi kemuliaan Allah yang lebih besar (Ad Maiorem Dei Gloriam).

Selama 15 tahun memimpin Serikat Yesus, Ignatius memusatkan perhatiannya pada pembinaan semangat religius ordonya. Maka tidak mengherankan jika Ignatius diangkat sebagai pelindung semua kegiatan rohani oleh Paus Pius XI pada tahun 1922. Ignatius wafat pada tanggal 31 Juli 1556. Ignatius dinyatakan sebagai beato oleh Paus Paulus V pada tanggal 3 Desember 1609 dan oleh Paus Gregorius XV dinyatakan sebagai santo pada tanggal 12 Maret 1622.
Rm. Agustinus Winaryanta SJ
(Dikutip dari https://parokikotabaru.org/santo-ignatius-loyola/)
Sumber:
Mgr. Nicolaas Martinus Schneiders, CICM, Orang Kudus Sepanjang Tahun, Jakarta: OBOR,
2004, hlm. 372-374.
Kevin O’Brien, SJ, The Ignatian Adventure, Chicago: Loyola Press, 2011, hlm. 5-11.

 

Sejarah Paroki

Paroki Jalan Malang merupakan anak dari Paroki Theresia. Lahir dan berkembang untuk melayani para umat Belanda yang ada di sekitaran Menteng. Pada saat itu, Ekaristi diadakan di rumah salah satu keluarga Katolik, di jalan Malang No.23. Dengan bertambanya umat yang hadir, tempat perayaan di rumah tidak lagi memadai. Pastor Paroki J. Van Nierkerk, SJ., pada tanggal Tanggal 8 Juli 1948, membeli rumah Jl. Malang no. 22 karena pemiliknya kembali ke negeri Belanda. Sebulan kemudian, Pastor J. Awick, SJ menggantikan Pastor Van Niekerk, SJ sebagai pastor kepala Paroki Sta. Theresia. Dengan semangat yang tak kalah dari pendahulunya, Pastor J. Awick, SJ memperluas ‘gereja’ Jl. Malang 23, ke halaman belakang rumah yang diberi emperan. Alhasil upaya ini mampu menambah kapasitas umat hingga mampu menambah 250 orang.
Dengan perkembangan yang pesat ini nampaknya tak bisa ditunda lagi bahwa stasi Jl. Malang perlu ditangani secara khusus. Sejak 1 Oktober 1948, Pastor J. Jansen, SJ diangkat menjadi ‘pastor kepala’ pertama ’paroki’ Jl. Malang. Stasi Jalan Malang akhhirnya berubah menjadi Paroki Jalan Malang melalui ketetapan Bapa Uskup pada tanggal 8 Maret 1949, dengan nama Pengurus Gereja dan Dana Papa RK Gereja St. Ignatius atau yang dikenal sebagai “Stichtingsbrief Van Het R.K. Krek En Armbestuur Van Ge Krek Van den H. Ignatius Te Batavia”. Dalam surat tersebut ditetapkan susunan pengurus PGDP sebagi berikut:
1. Ketua: Pastor J. Awick, SJ
2. Sekretaris & bendahara: Pastor J. Jansen, SJ
3. Anggota: Bp H. Oei Tjoei Liang, Bp. Dr. A. W.J. Soeradi, Bp P. Paulsen, dan Bp. J.F. Baas.
Walau paroki sudah berdiri, Umat Jalan Malang belum memiliki Gereja yang tetap. Pada 15 Juli 1955, Pastur J, ban Niekerk, SJ kembali ke Jl. Malang manggantikan Pastor J, Jansen, SJ yang dipindahkan ke Bidaracina. Saat itu ada dua persil yang mau dijual satu di pojok Jl. Malang dan Jl. Krakatau (sekarang Jl. Latuharhari) dan satu persil lagi terletak disebalahnya. Maka jadilah persil pertama disudut Jl. Malang dan Jl Karakatau dengan luas 2050 M2 dibeli untuk membangun sebuah gereja. Mulailah di tahun 1957 dibuat perencanaan pembangunan gereja. Akan tetapi tanah yang ada tidak cukup besar untuk membangun sebuah gereja. Tanggal 01 Agustus menjadi hari bersejarah, karena berdirilah bangunan dua lantai. Pada hari itu sekolah di jalan Madiun 14 resmi pindah ke gedung baru sekaligus diresmikan menjadi SR VI St. Ignatius. Gedung bawah bangunan dipergunakan untuk sekolah dan gereja terletak di bagian atasnya. Sore hari ruangan dipergunakan untuk membuka SMP. Gereja darurat kedua di gedung sekolah berhasil rampung pada tahun itu juga. Pada 20 Desember 1959 segala aktivitas liturgi Paroki St. Ignatius pindah dari gereja rumah ke gereja aula. Pada waktu itu jumlah umat yang semula tiga ribuan merosot hingga separuhnya. Hal itu disebabkan terjadi eksodus besar warga keturunan Belanda ke tanah asalnya. Jumlah umut menjadi tinggal 1628. Dan sejak 1958, Pastor van Niekerk tidak lagi sendirian bertugas di Paroki St. Ignatius. Beliau dibantu berturut – turut oleh Pastor C. De Meulder, SJ (1958 – 1961), Pastor M. Oei Tjiang, Sj (1962 – 1963) dan Pastor P. Teeuwisse, SJ (1963 – …).
Lima tahun berselang sejak gereja aula beroperasi, muncul kesempatan memperoleh tanah tanah kembali. Persis di sebelah bangunan sekolah, di sudut Jl. Krakatau dan Jl. Mampang (kini Jl. Teuku Cik Ditiro) ada rumah besar meliputi tiga persil. Rumah dan tanah seluas 1940 M2 tersebut milik orang Belanda yang telah kembali ke negerinya. Lewat upaya yang tidak terlalu mudah, akhirnya Pastor van Niekerk berhasil membeli tanah dan rumah tersebut yang sejak 1964 resmi terdaftar atas nama Pengurus Gereja dan Dana Papa.
Bangunan megah gereja yang selama ini diimpikan mulai terbayang di benak pastor van Niekerk. Namun rupanya perjuangan Pastor van Niekerk sudah dianggap cukup, sehingga pembangunan gedung gereja diwariskannya ke Pastor Th. Liem Sik Hok, SJ yang sejak 15 Juli 1965 menjadi pastor kepala Paroki St. Ignatius. Pastor van Niekerk sendiri dipindah ke Bidaracina.
Pastor kepala beserta pengurus gereja segera mematangkan rencana. Bernard Yusuf, salah seorang warga yang arsitek diminta untuk merancang bangungan gereja. Bakal lokasi gereja itu sendiri memang tidak luas dan terletak di sudut jalan. Namun dengan segala kreativitasnya sang arsitek mampu menghadirkan konsep rencangan gereja yang indah dan manis.
Tanggal 6 Februari 1967, Ijin Mendirikan Bangunan resmi diberikan. Pekerjaan pembangunan pun segera dimulai dibawah pengawasan Bagian Pembangunan Keuskupan Agung Jakarta, dengan tenaga pelaksana Bapak Bernard Yusuf. Pembangunan gereja memang tidak mulus berjalan dan memakan waktu dua tahun lebih hingga selesai. Hal itu disebabkan oleh kesalahan perencanaan konstruksi baja atap beserta persoalan – persoalan lainnya. Sementara pembangunan gereja berjalan, Pastor Liem mulai mencari tenaga baru untuk karya – karya sosial di paroki. Uskup Agung Jakarta saat itu, Mgr. A. Djajasapoetra, SJ mendekati konggeregasi suster – suster Yesus Maria Yosef. Para suster bersedia membantu baik di bidang pendidikan maupun kesehatan.Sejak Oktober 1966, pemimpin dan kepengurusan TK, SD, dan SMP diserahkan kepada para suster YMY. Gedung – gedung tetap menjadi milik paroki.
Kebutuhan berikutnya sudah barang tentu adalah tempat tinggal suster – suster. Kebetulan di belakang gereja yang ada sebuah rumah kosong yang sangat cocok untuk pastoran. Rumah tersebut adalah rumah mantan pimpiman PKI, Nyoto, yang sedang di duduki tentara. Apabila rumah tersebut berhasil dibeli dan dijadikan pastoran, maka rumah pastoran di Jl. Malang 23 akan diperuntukan bagi tempat tinggal suster – suster. Sejak awal paroki Jalan Malang digembalakan Imam dari Serikat Jesus. Satu kali pernah hadir Imam dari Maryknoll Fathers, Projo dari Amerika yang melakukan pembenahan – pembenahan struktur keparokian. Pada saat itu Paroki jalan malang dipimpin oleh Pastor William P. Hafernan, MM (akrab di panggil Romo Bill) menggantikan Pastor T. Suyudanta, SJ. Pergantian kali ini sangat istimewa dibanding biasanya, lengkap dengan upacara serah teima resmi di lingkungan pastoran Jalan Malang 22. Selain upacara lepas tugas sambut pastor kepala baru dan lama, upacara kali ini juga menjadi tanda serah terima pembinaan dari Konggregasi Serikat Jesus ke bawah wewenang dan pengelolaan Keuskupan Agung Jakarta dengan pasuknnya imam – imam sekular atau projo. Upacara ini juga menandakan bahwa selanjutnya Paroki Jalan Malang berada dalam keadaan transisi sebelum akhirnya dikelola penuh oleh imam – imam Projo. Pada masa peralihan ini ada tiga kegiatan penting bagi kehidupan paroki. Yang pertama adalah disusunya buku AD/ART Pengurus Gereja dan Dana Papa Paroki Jalan Malang. Lewat AD/ART, peranan dan fungsi pengurus menjadi semakin jelas. Yang kedua, pastor kepala bersama anggota PGDP menerbitkan buku petunjuk tatacara liturgi. Buku ini berguna sebagai pedoman standar tata cara hidup. Lewat buku ini pula, jika para imam berhalangan memimpin ibadat, maka kehadirannya digantikan wakil umat lewat panduan buku in. Pastor bill sebagai seorang dokter ahli hukum gereja yang banyak membereskan perkawinan campur umat Paroki Jalan Malang, sehingga secara hukum gereja menjadi perkawinan yang sah. Pada tahun 1989, ijin kerja Pastoran Bill di Indonesia sudah habis dan tidak bisa diperpanjang lagi. Peran pastor kepala selanjutnya diambil alih Pastor Frans Doy, Pr yang menjabat selama satu tahun. Dengan ini masa peralihan berakhir, Paroki Jalan Malang resmi dikelola oleh Imam Projo Jakarta.
Pembangunan Goa Maria di kompleks gereja merupakan prioritas pertama dalam usaha peningkatan fasilitas gereja, mengingat Goa Maria merupakan salah satu wujud dari kecintaan umat kepada Bunda Maria. Bulan september 1990, panitia pembangunan Goa Maria yang diketuai Beny Kosasih mulai bekerja dengan target sudah diberkati sebelum hari raya natal 1990. Berbagai pihak telah dihubungi untuk dapat bekerja sama, baik dari kelompok kategorial Karismatik dan ME, pengusaha maupun dari pihak luar sebagai tenaga ahli. Biaya pembangunan Goa Maria beserta saran kelengkapannya 13 juta rupiah. Pengumpulan dana dilakukan melalui kotak sumbangan di tiga pintu masuk gereja yang dipasang setiap hari minggu selama pembangunan berlangsung. Dengan demikian diharapkan seluruh umat paroki bisa berpartisipasi mewujudkan Goa Maria. Menjelang hari raya natal, 23 desember 1990, Goa Maria yang diresmikan dengan nama Goa Maria Imaculata ( Santa Maria yang tidak bernoda) dapat diberkati oleh Vikaris Jendral Keuskupan Agung Jakarta, Pastor M.Soenarwidjaja, SJ yang mewakili Uskup Agung Jakarta, Mgr.Leo Soekoto, SJ yang waktu itu sedang sakit.
Perkembangan sebuah paroki bukan hanya tampak dari jumlah umat yang hanya semakin meningkat, namun juga kualitas umat turut menentukan kedewasaan sebuah paroki. Umat bukan hanya dilayani tapi juga diajak berperan aktif untuk bersama–sama membangun dan mengembangkan paroki. Untuk itulah Dewan Paroki Jalan Malang melengkapinya dengan berbagai seksi bersama fasilitas pendukungnya. Sementara kondisi paroki sampai tahun 1991 tidak memadai untuk segala kegiatan seksi maupun kelompok kategorialnya. RD J. Wiyanto Harjopranoto sebagai pastor kepala bersama dewan paroki bertekad untuk membangun gedung paroki yang dapat menjadi pusat pelayanan dan kegiatan umat Paroki Jalan Malang. Obsesi tersebut tentu saja dikonsultasikan dengan Uskup dan ternyata menyetujui dalam pertemuan dengan DP pada tanggal 12 Juli 1992. Namun sebelum pembangunan gedung dilaksanakan, Pastor Wiyanto dipindahkan ke paroki Aloysius Gonzaga Cijantung, dan digantikan RD Jacobus Tarigan.
Melalui beberapa survei dan konsultasi yang dilakukan oleh Panitia Pemabangunan yang dikenal dengan istilah PPG, didapatlah konsep pembangunan gedung paroki yang cocok dengan sifat dan situasi Paroki Jalan Malang. Berdasarkan saran dari Bapak Uskup sendiri, Gedung Pastoran dipisahkan secara jelas dengan gedung pelayanan dan kegiatan umat. Anggaran dipersiapkan dengan matang lengkap dengan berbagai sumber dana yang sebagian besar adalah partisipasi dari umat paroki sendiri dan anggota PPG.
Pembangunan kompleks gedung paroki segera dapat direalisasikan, dengan upacara peletakan batu pertama oleh Uskup Agung Jakarta, Leo Soekoto,SJ pada tanggal 14 Februari 1993. Selanjutnya pembangunan dapat dilaksanakan di atas tanah seluas 700m2, dengan membangun 3 unit, yaitu unit pastoran, unit pelayanan khusus/konsultasi dan unit pelayanan umum untuk pertemuan rapat dan kegiatan lain. Ketiga unit tersebut dibangun dalam 2 lantai dengan 22 ruangan yang luasnya berbeda menurut fungsinya.
Pembangunan selesai dalam waktu 77 bulan lebih cepat dari yang telah dijadwalkan, sehingga pada tanggal 3 Oktober 1993, Gedung Paroki telah dapat diserahkan kepada Dewan Paroki. Seluruh biaya pembangunan gedung paroki dapat tertutup tanpa harus membayar hutang kepada siapapun.
Dengan berkembangnya umat dan makin buruknya keadaan gedung aula paroki. Pada tahun 2015, Paroki merencanakan pembangunan GKP lima lantai. Proses persiapan dan ijin mulai dilakukan, baik ke keuskupan dan pemerintah. Pembangunan baru mulai dapat berjalan pada tahun 2019, dengan pertimbangan modal yang cukup dan ijin yang sudah lengkap. Tahun 2020, GKP sudah berdiri dan satu lantai dipinjamkan untuk pelayanan pendidikan taman kanak-kanak St. Ignatius. Secara fisik, Paroki Jalan Malang memiliki kelengkapan yang cukup memadai. Saat ini yang senantiasa perlu dibangun adalah UMAT Jalan Malang. Supaya semakin dapat bertumbuh dalam iman, hararapan dan kasih. Dan ke depan, Paroki akan terus berbenah untuk semakin dapat melayani Umat dan mewujudkan tugas sebagai nabi, imam dan raja di masyarakat.